Rabu, 04 September 2013

KANTOR NGAWUR

matahari siang ini mulai naik, tapi tetap belum mampu mencairkan kebekuan yang mendekapku di sela sela jari tanganku. setelan baju kerja ku hari ini, cukup ceria dengan motif floral gelap mewarnainya. mataku, selalu menuju pada jam dinding yang jarumnya tak berdetak sama sekali di sudut pintu.
aku menikmati pagi ini, kesibukan yang sering kukeluhkan perlahan semakin kulupakan.
kunikmati saja kengawuran yang bisa kulakukan disini, karena telingaku sudah menutup keluhan sang bos yang "no aksi". karena mulutku sudah tak lagi cerewet pada hal hal yang skiranya salah. kunikmati saja, sebagai seorang anak muda nakal, yang sering melanggar aturan seharusnya.
aku heran, entah memang bodoh atau pura pura bodoh sih. para petinggi dan pemilik kantor ini begitu tak pedulinya dengan sistem yang berjalan dan kondisi karyawannya (beginilah orang kaya tapi keturunan). kalau memang sudah tak peduli, buang saja.
toh aku, sebagai karyawannya juga tak segan mengangkat kakiku dari kantor ini, kalau kantor ini tetap saja ngawur seperti ini,

Selasa, 30 Juli 2013

-

pagi itu, sayup sayup mataku mencoba menyibak deraian hujan semalam. mencoba meluruskan amarah yang sangat menikuk. entah kesal pada siapa, entah dongkol untuk apa. bukankah seharusnya aku prihatin ? prihatin pada sesosok terhormat yang telah bertaun taun lalu banyak menghabiskan waktunya diatas ranjang kamarku. jutaan bulir air mata yang menetes, nyatanya belum juga mampu membangkitkan raganya. jutaan harapan yang nyatanya sudah ia tumbangkan di depan mataku sendiri, sudah enggan lagi kutegakkan. aku pasrah, tak perlu ada lagi keluhan keluhan kesekian kalinya yang kutumpahruah kan pada mereka yang tercinta, di sekelilingku. terlalu ciut ya Allah kesabaran hamba, lalu hanya padaMu lah kuinginkan perluasan atasnya. di setiap petang yang meruncing, aku sering mendapati hatiku mulai lengah terjaga untuk nya. walau ku tau, dia sempat lebih ikhlas menjagaku dikala dulu.

Rabu, 17 Juli 2013

beritau saya dengan elegan !

impian sudah di genggaman, butuh banyak berkorban untuk hanya sekedar "menggenggam" sebuah keinginan sederhana yang sesungguhnya tak layak disebut cita cita. terjatuh, menangis, bahkan menyerah itu menjadi lumrah, walau ujung ujungnya pasrah.

aku bukan anak yang terlahir dengan rumah mewah dan megah. keluarga ku menyandang ekonomi yang terbilang "cukup". cukup bahagia, cukup asik, dan kadang juga cukup menyebalkan.dan aku bersyukur masih bisa mensyukuri semuanya. walau dengan keluhan, walau dengan tangisan.

aku tertulis menjadi bungsu kala Tuhan meniupkan ruh ku ke rahim ibu. sewajarnya anak bungsu perempuan, seolah aku diwajibkan untuk selalu dekat dengan orang tua. selayaknya anak perempuan terakhir, aku seperti dipaksa menjaga orang tua. 

bukan menolak!, bukan mengeluh !
ibarat seorang rakyat di sebuah negara, aku hanya menuntut ke-egaliter-an dari sang presiden. atau cukup beritahu saja padaku tentang porsi egaliter yang seharusnya kudapat, dengan segala resikonya dengan cara yang cukup elegan. (butuh jawaban !)

atau setidaknya, beri aku waktu untuk hanya sekedar merasakan apa yang kumau, tanpa sedikitpun rasa khawatir yang terucap dari mulut ibu, tapi tetap berada dalam jangkauan pandanganmu.  

karena raut khawatir yang terlampau larut, bisa membatasi pergerakanku.
tenanglah, aku tetap anak gadismu yang baik. aku tidak akan tidak pulang kerumahmu setiap hari. aku akan selalu menjagamu walau aku tidak secara real berada dihadapanmu. 

aku tau, ibu dan ayahku bahkan aku, bukan orang orang dengan kemampuan negosiasi yang baik. bukan juga orang yang punya kemampuan toleransi yang tinggi. juga bukan orang yang bisa menafsirkan makna konotasi kehidupan.

karena itulah, kami sering freak (dalam bahasa gaul).

sepertinya mereka selalu menelan mentah mentah, setiap petunjuk dan realita yang terjadi. selalu mengartikan bahwa anak yang baik, adalah anak yang selalu menurut perintah mereka, bukan anak yang mengerti mereka.

sejatinya sosok anak, juga butuh dimengerti dan wajib mengerti. tapi kadang porsi pengertian yang diinginkan masing masing pihak, tidak ternegosiasi dengan baik. ya karena itulah, karena kami bukan orang orang dengan kemampuan negosiasi yang baik (1x lagi).

 

Dear My Note